Minggu, 06 Januari 2013

Mahasiswa jepang Kembangkan Mobil Bantal


Mahasiswa jepang Kembangkan Mobil Bantal

Mobil dari bahan busa – Banyaknya kecelakaan yang mengakibatkan korban jiwa yang terjadi di Jepang, ternyata membuat sebuah kelompok mahasiswa membuat sebuah inovasi baru. Inovasi yang diciptakan oleh mahasiswa Universitas Hiroshima tersebut adalah mobil bantal.
Mobil bantal, merupakan sebuah mobil yang setiap bagian bodynya dilapisi dengan bantal udara. Dengan begitu, pengendara dan korban yang tertabrak tidak akan mengalami luka serius ketika terjadi tabrakan. “Banyak kecelakaan lalu lintas yang melukai bahkan menewaskan orang lain. Mobil ini bisa mencegah petaka itu,” kata salah satu mahasiswa seperti dikutip dari beritastu.com.

Mobil bantal yang dinamai iSAVE-SCI sepintas menyerupai dengan mobil golf, bedanya mobil ini hanya memiliki 3 roda. Menggunakan tenaga listrik, mobil ini juga sangat ramah lingkungan dan mampu melaju dengan kecepatan maksimal 50 km/jam

Biaya pembuatan mobil bantal ini mencapai US$ 9.300 per unitnya. Saat diujicobakan dengan menabrak sejumlah orang, mobil ini memang cukup aman karena objek yang ditabrak tidak mengalami luka yang serius mereka justru terawa karena tidak sakit.
Post Popularity 0%  
Popularity Breakdown
Comments 0%  

Kronologi Kecelakaan Mobil Listrik Dahlan Iskan


Kronologi Kecelakaan Mobil Listrik Dahlan Iskan

Sampai sore ini petugas Polres Magetan masih melakukan evakuasi.

ddd
Sabtu, 5 Januari 2013, 18:33Suryanta Bakti Susila, Arief Hidayat, Nina Rahayu
Mobil listrik yang dikendarai Dahlan Iskan kecelakaan
Mobil listrik yang dikendarai Dahlan Iskan kecelakaan 

VIVAnews - Menteri BUMN Dahlan Iskan mengalami kecelakaan saat menjajal mobil listrik kelas Ferrari di Desa Ngerong Magetan, Jawa Timur, Sabtu, 5 Januari 2013. Dahlan Iskan selamat dalam kecelakaan itu.
Kanitlakalantas Polres Magetan, Iptu Muhammad Munir, mengatakan sampai sore ini jajarannya tengah mengevakuasi kendaraan yang ringsek berat di bagian depannya itu. Diminta penjelasan terkait kecelakaan itu, dia minta waktu membantu rekan-rekannya melakukan evakuasi tersebut.
Kabag Humas dan Protokoler Kementrian BUMN, Faisal Halimi, menjelaskan kronologi kecelakaan itu. Usai upacara ruwatan di Solo, tadi siang, Dahlan melajukan kendaraan itu menuju Magetan.
Saat menuju Tawang Mangu, mobil Tuxuci mampu melewati tanjakan Tawang Mangu dan Cemoro Sewu yang terkenal tinggi dengan mulus. Namun ketika menuruni lereng timur Gunung Lawu, setelah melewati turunan paling tajam di Sarangan, rem yang semula berfungsi baik tiba-tiba mengalami masalah.
Dahlan mengambil keputusan menabrakkan mobil Tuxuci ke tebing di kanan jalan untuk menghindari terjadinya kecelakaan lalu lintas yang bisa melukai pengendara yang lain.  Setelah menabrak tebing, mobil masih berjalan menabrak tiang listrik dan  berhenti persis di depan kendaraan  depannya, mobil jenis Panther di kanan jalan.
"Kalau tidak ditabrakkan ke tebing, mobil akan makin meluncur kencang dan akan membahayakan orang lain," kata Faisal.
Seluruh rombongan yang mengikuti Dahlan menyaksikan kejadian tersebut, dan mengkhawatirkan kondisi Menteri Dahlan dan pendampingnya yang ahli teknologi mobil listrik, Riki Nelson.
Setelah memeriksa dari depan mobil, tampak dengan jelas atap depan dan kacanya hancur lebur. Rombongan melihat Dahlan tetap di tempat duduknya, dan setelah dikerubungi banyak orang diketahui Dahlan tidak mengalami masalah maupun luka. Nyaris tidak sedikit pun luka dalam maupun luar.
Dalam posisi duduknya, Dahlan meminta agar rombongan memastikan tidak ada kendaraan lain yang tertabrak apalagi terluka. Setelah diketahui tidak terjadi kecelakaan yang lain akibat Tuxuci, Dahlan baru turun dari mobilnya, lalu, memutuskan melanjutkan perjalanan ke kampung halamannya, Takeran, dengan mobil yang lain.
Menteri BUMN Dahlan dalam keterangannya kepada media menyatakan tetap bangga terhadap mobil ini, dan akan terus mengembangkannya.
"Baik juga saya sendiri yang mencoba mobil ini sehingga saya sendiri dan risikonya saya yang menanggung," kata Dahlan. (eh)


© VIVA.co.id

Pembuat Mobil Dahlan Iskan Ungkap Penyebab Celaka


Pembuat Mobil Dahlan Iskan Ungkap Penyebab Celaka

Mobil sport yang ditunggangi Dahlan Iskan ringsek menabrak tebing.

Minggu, 6 Januari 2013, 11:58Aries Setiawan, Sandy Adam Mahaputra
Mobil listrik Dahlan Iskan mengalami kecelakaan di Magetan.
Mobil listrik Dahlan Iskan mengalami kecelakaan di Magetan.(ANTARA/ Siswowidodo)
VIVAnews - Mobil listrik Tucuxi mengalami kecelakaan saat dikendarai Menteri Badan Usaha Milik Negara, Dahlan Iskan, di wilayah Plaosan, Magetan, Jawa Timur, Sabtu kemarin, 5 Januari 2013.

Rem mobil 'Ferarri' buatan anak negeri yang sebelumnya sempat berfungsi, ternyata tiba-tiba blong. Akibatnya, mobil yang dibanderol Rp1,5 miliar itu hancur. Beruntung sang menteri tak mengalami luka-luka. [Baca: Kronologi Kecelakaan Mobil Listrik Dahlan Iskan]

Danet Suryatama, pencipta mobil listrik Tucuxi menyatakan, penyebab rem tidak berfungsi dengan baik karena mobil itu telah dibongkar dan diubah dari kondisi semula oleh pihak lain.

"Kami tidak berada di tempat kejadian. Akan tetapi dari observasi foto-foto sebelum dan setelah pembongkaran, ternyata ada penggantian electric vacuum pump (untuk memperoleh tenaga penghisap bagi rem booster) dengan peralatan yang kami tak ketahui performanya," ujar Danet dalam keterangan pers yang diterima VIVAnews, Minggu 6 Januari 2012.

Menurut Danet, electric vacuum pump ini sangat penting bagi mobil elektrik untuk menghasilkan daya rem bagi kendaraan secara handal. Alat ini apabila diganti dengan produk lain yang tidak reliable akan mengakibatkan kehilangan daya rem.

"Dari semua pembongkaran, yang dilakukan tanpa seizin dan sepengetahuan kami selama ini, inilah yang paling kami khawatirkan, kehilangan performa kendaraan serta fitur keamanan yang telah dipasang pada kendaraan listrik Tucuxi," tuturnya.

Apalagi, lanjut Danet, pembongkaran ini dilakukan oleh orang-orang yang tidak qualifieduntuk melakukannya.

Karenanya dia berharap masyarakat dan tim evakuasi mobil Tucuxi untuk berhati-hati melakukan evakuasi kendaraan. "Ada arus listrik bertegangan tinggi pada mobil tersebut yang penanganannya harus dilakukan oleh orang atau tim yang berpengalaman. Hal inilah yang perlu diperhatikan saat ini," tuturnya.

Danet kecewa lantaran mobil buatannya itu di bawa Dahlan ke bengkel Kupu-Kupu Malam, Yogyakarta, untuk dibongkar dengan segala alasan. Salah satunya untuk penyempurnaan kendaraan.

Padahal, lanjut Danet, pihaknya sudah memiliki perjanjian dengan Dahlan Iskan mengenai penjagaan terhadap hak cipta desain dan engineering. Juga dengan bengkel Kupu-Kupu Malam.

"Kami mempunyai bukti surat-surat perjanjian tersebut. Termasuk dengan komunikasi email serta BBM yang menyertai permintaan penandatanganan perjanjian tersebut," kata Danet. (umi)

© VIVA.co.id

Jumat, 04 Januari 2013

Hubungan Sejarah Kota Volendam dan Kampung Nelayan Jakarta


Gan... mungkin ini sedikit info sejarah yang ane dapaet ketika ane sedang browsing.. Sejarah soal rencana atau master plan pembuatan dan fungsi pembuatan kanal di Jakarta... ternyata eh ternyata master plan itu sudah ada sejak tahun 1700-an... dan ide ini mencontoh dari kota Volendam, yang berada di Belanda Utara. Mungkin kalau masterplan ini berjalan setidaknya bisa membantu mengurangi banjir dan kemacetan... mungkin artikel ini dapat membantu... kalau ada yang mau menambahkan silahkan gan...

Pada tahun 1700-an, saat kota Batavia dibangun sudah diluar benteng pertahanan VOC ada sebuah masterplan yang dibuat dengan meniru kota Volendam, Belanda Utara. Salah satu tempat yang kemudian dicetak persis seperti kota 
Volendam adalah ‘Pasar Ikan’.


Ada juga satu tempat bernama Pantai Zandvoort, di Harlem Belanda. Yang namanya dipakai untuk Pantai Zandvoor di Jakarta, nama ini amat sulit bagi lidah orang Betawi kemudian nama ini dikenal ‘Pantai Sampur’. Di Pantai Sampur inilah berdiri Yatch Club. Wilayah Zandvoorsudah ada sejak 1720-an namun masih amat sepi, dulu hutan Ancol masih menjadi pantai yang banyak monyetnya.

Di wilayah Zandvoort inilah cetak biru kampung nelayan Volendam direncanakan. Dari Zandvoort juga terdapat hulu segala hulu kanal. Jakarta atau Batavia akan dibangun mirip Amsterdam dengan banyak kanal-kanalnya. Di tahun 1720-an untuk menuju wilayah Gambir dari Pantai tak naik kuda tapi lebih banyak naik kapal yang berlayar pada sebuah kanal. Kanal-kanal itu masih tersisa kini di Jalan Gadjah Mada dan Jalan Hayam Wuruk.


Di masa Penjajahan Belanda, kampung Pantai Zandvoort amat indahnya, di sampingnya Cilincing belumlah sekumuh sekarang, Cilincing masih jadi kampung nelayan yang bersih. Dari Zandvoort bisa dilihat sunset yang membuat hati terasa adem.

Pada tahun tahun 1964, Bung Karno memerintahkan Henk Ngantung membuat satu konsep kota Pantai yang mirip Copacabana di wilayah hutan monyet Ancol. Henk menyanggupi perintah Bung Karno, atas rekomendasi dari kawan Henk, Djumatidjin maka Henk memanggil salah seorang Insinyur muda cerdas yaitu Tjiputra. Dari tangan Tjiputra inilah kemudian Ancol berkembang amat pesat.

Sampai sekarang Volendam adalah kota Nelayan terindah di dunia, menyedot ratusan ribu turis setiap tahunnya. Namun di Indonesia tak ada sama sekali kampung nelayan yang indah dan tertata, apakah anda pernah ke Muara Karang? disana pasar dan tempatnya amat semrawut dan bau. Padahal Muara Karang bisa dibangun seperti Volendam yang rapi dan bersih.

FOTO: Hutan Berkabut, Kuburan Mobil-mobil Mewah


FOTO: Hutan Berkabut, Kuburan Mobil-mobil Mewah
Mobil-mobil kuno sengaja ditinggalkan pemiliknya dengan berjajar rapi.
Wuri Handayani, Stella Maris
Sabtu, 5 Januari 2013, 10:35 WIB
Mobil-mobil ini terparkir rapi di tengah hutan. (amusingplanet.com)
Banyak mobil yang hanya tinggal kerangka. (amusingplanet.com)


VIVAlife - Sekilas di hutan ini Anda hanya akan menemukan rerimbunan pohon tinggi berselimut kabut. Namun saat kaki melangkah, Anda akan membelalakkan mata dengan obyek menarik ini. Hamparan kuburan masal. Bukan kuburan manusia tapi kuburan mobil tua jaman Perang Dunia II. 
Ya, utan kecil di Chatillon, Belgia ini merupakan tempat "peristirahatan terakhir" bagi mobil-mobil tentara Amerika kala itu. Mereka sengaja memarkir mobilnya dengan rapi di sini. Hutan ini pun banyak diburu para pelancong yang menggemari mobil kuno.
Kuburan mobil tua
Mayoritas mobil antik ini merupakan produk bergengsi keluaran Jerman, Volkswagen. Beberapa merk yang juga "tidur manis" di hutan ini adalah Opel, Audi, Ford, dan Buick.
Alasan para petinggi tentara meninggalkan mobil-mobil keren-nya saat itu cukup masuk akal, biaya pengiriman mobil dari Belgia menuju Amerika Serikat terbilang sangat mahal. Dengan alasan itulah, semua perwira memutuskan untuk meninggalkan semua mobil-mobil mereka hingga berkarat. 
Kuburan mobil tua
Sebelum kembali ke kampung halaman, mereka harus menyimpan mobil-mobil tersebut di tempat yang aman. Satu per satu, mobil di dorong menuruni perbukitan, diparkir rapi, dan pastinya tersembunyi dari dunia luar. 
Seperti dilansir dari Amusingplanet, ada sektiar 500 mobil yang "dikubur" di tempat ini. Seiring berjalannya waktu, mobil ini mengalami korosi dan pembusukan, bahkan tertutup lumut yang tumbuh subur karena udara dingin. Tak sedikit juga mobil yang kehilangan bagian tubuhnya, karena diambil oleh para pemburu mobil antik. 




• VIVAlife

Kontroversi Aturan Bermotor di Aceh, Bonceng Menyamping Picu Celaka


Kontroversi Aturan Bermotor di Aceh, Bonceng Menyamping Picu Celaka

Posisi duduk menyamping justru akan membahayakan penumpang.

Jum'at, 4 Januari 2013, 12:19Sandy Adam Mahaputra, Herdi Muhardi
Pemerintah Kota (Pemkot) Lhokseumawe melarang wanita yang dibonceng duduk ngangkang di Motor
Pemerintah Kota (Pemkot) Lhokseumawe melarang wanita yang dibonceng duduk ngangkang di Motor(VIVAnews/Anhar Rizki Affandi)
VIVAnews – Rencana Pemerintah Kota (Pemkot) Lhokseumawe dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Provinsi Aceh menerapkan larangan khusus perempuan yang duduk sebagai penumpang motor dengan posisi mengangkang, menuai kritik dari berbagai kalangan.

Para pejabat Lhokseumawe menilai, posisi duduk mengangkang bagi perempuan tidaklah sesuai dengan budaya Aceh, terlebih jika berkendara sepeda motor.

Namun, beberapa kalangan justru menilai posisi duduk menyamping akan membahayakan penumpang, pengendara dan pengguna jalan lainnya.

"Seharusnya sebelum aturan dibuat, terlebih dahulu harus memperhatikan aspek keselamatan, baru kepada estetika, norma, dan agama. Dengan penumpang duduk menyamping kestabilan dan keseimbangan saat berkendara akan berkurang dan itu berbahaya," kata Training Director Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC) Jusri Pulubuhu kepada VIVAnews, Jumat 4 Januari 2012.

Jusri menjelaskan duduk menyamping tidak aman bagi pembonceng dan menjadi tidak ergonomis bagi penumpang.

"Selain itu pengendara yang membonceng juga berbahaya, karena saat melakukan manuver atau berbelok keseimbangan akan jauh berkurang," kata Jusri.

Dengan posisi itu,  si pembonceng juga sangat berbahaya bagi pengendara lain. "Penggunaan sepeda motor seharusnya tidak boleh keluar dari handle bar atau sejajar dan tidak melebihi posisi stang. Penggunaan box berlebihan juga tidak benar," katanya.

Jusri berharap aturan dibonceng dengan posisi menyamping tidak diterapkan karena sangat berbahaya terutama di jalan raya. "Jalan raya kini telah menjadi ladang pembantaian massal. Seharusnya jangan membuat aturan yang lebih berisiko," katanya lagi. (umi)

© VIVA.co.id 

Kemajemukan Budaya, Jatidiri Bangsa dan Ketahanan Nasional


Kemajemukan Budaya, Jatidiri Bangsa dan Ketahanan Nasional

(Dalam Perspektif Pendidikan)

Oleh Prof. DR. H Ki Supriyoko SDU, M.Pd.

A. Pendahuluan
Di dalam Wikipedia dituliskan bahwa Bhinneka Tunggal Ika adalah berbeda-beda tetapi satu jua yang berasal dari buku atau Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular. Secara mendalam Bhinneka Tunggal Ika memiliki makna walaupun di Indonesia terdapat banyak suku, agama, ras, kesenian, adat, bahasa, dan lain sebagainya namun tetap satu kesatuan yang sebangsa dan setanah air. Dipersatukan dengan bendera, lagu kebangsaan, mata uang, bahasa dan lain-lain yang sama.

Bhineka Tunggal Ika adalah semboyan Indonesia. Frasa ini berasal dari Bahasa Jawa Kuna dan sering diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda tetapi satu juga”. Kalau diterjemahkan per patah kata, kata bhinneka berarti “beraneka ragam” atau berbeda. Kata neka dalam bahasa Jawa Kuna berarti “macam” dan menjadi pembentuk kata “aneka” dalam Bahasa Indonesia.

Kata tunggal berarti “satu”. Kata ika berarti “itu”. Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan “Beraneka Satu Itu”, yang bermakna meskipun berbeda-beda akan tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.

Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna yaitu Kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dan umat Buddha.

Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini:

Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,
Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Terjemahan:
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

B. Masyarakat Majemuk dan Jati Diri Bangsa
Indonesia adalah sebuah negara dengan penduduk terbesar keempat dunia setelah Cina, Amerika Serikat (AS) dan India. Besarnya jumlah penduduk tersebut juga diikuti dengan bervariasinya suku dan etnis. Suku Jawa mencapai sekitar 42% dari keseluruhan suku di Indonesia; di luar itu ada Suku Sunda, Batak, Maluku, Papua, dan sebagainya. Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional akan tetapi terdapat puluhan bahasa ibu di negeri ini; Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Minang, Bahasa Batak, Bahasa Aceh, Bahasa Papua Dalam, dan sebagainya.

Kebiasaan dan budaya antarsuku di Indonesia juga saling berbeda; ambil contoh upacara pemakaman di Jawa dilaksanakan sesegera mungkin setelah seseorang meninggal dunia; namun upacara pemakaman di Tana Toraja Sulawesi dilaksanakan ketika pihak keluarga musibah memiliki dana yang cukup untuk melaksanakan upacara pemakaman. Kepemilikan dana ini bisa beberapa hari setelah kematian atau beberapa bulan, bahkan ada yang beberapa tahun kemudian. Di sisi lain orang meninggal di Pulau Jawa biasanya dikubur di dalam tanah atau dikebumikan, orang mati di Tana Toraja “digantung” di pegunungan, orang mati di Pulau Bali ada yang dibakar, dan orang mati di Daerah Trunyan (Bali) ada yang diletakkan di tanah di tengah danau.

Perbedaan suku, bahasa, kebiasaan dan budaya tersebut merupakan realitas yang tidak dapat dipungkiri. Hal itu disadari betul oleh bangsa Indonesia. Hal itu tetap akan terjadi semenjak dulu, sekarang maupun pada masa-masa yang akan datang.

Perbedaannya, dulu ketika bangsa ini menjelang dan pascakemerdekaan dipraktekkan secara konkret oleh masyarakat Indonesia. Terjadinya aneka perbedaan tersebut seolah justru menjadi lem perekat untuk membentuk kesatuan bangsa dan negara. Terjadinya peristiwa Soempah Pemoeda tahun 1928 yang didalamnya terdapat persatuan pemuda dari Jawa (Jong Java), persatuan pemuda dari Sumatra (Jong Sumatra), persatuan pemuda dari Sulawesi (Jong Selebes), dsb, merupakan cermin bersatu padunya para pemuda dari berbagai suku bangsa untuk mencapai cita-cita bersama.

Pada sisi lain diproklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesia oleh Soekarno (Jawa) dan Bung Hatta (Sumatera) di samping secara konstitusional merupakan wakil dari bangsa Indonesia akan tetapi secara kultural merupakan simbol wakil dari suku-suku bangsa yang ada di negara kepulauan ini dalam menyatakan kemerdekaannya. Hal ini merupakan praktek dari semangat bhinneka tunggal ika yang diimplementasikan dalam berbangsa dan bernegara.

Di samping kemajemukan budaya, bangsa Indonesia memiliki jati diri yang bersifat khas, yaitu sebagai bangsa yang ramah, murah senyum, santun, bertenggang rasa.

Keramahan kita, kemurah-senyuman kita, kesantunan kita, dan ketenggang-rasaan kita sudah barang tentu menguntungkan diri sendiri di samping bangsa lain. Kemajemukan budaya daerah bukan merupakan hambatan dan kendala untuk membentuk bangsa yang kuat dan bersatu. Justru kemajemukan tersebut dapat menjadi lem perekat untuk mempersatukan kekuatan kita.

Namun sekarang, dalam berbagai kasus, praktek dari semangat bhinneka tunggal ika tersebut terasa mengendor. Terjadinya “Peristiwa Sambas” yang melibatkan Suku Madura dan Suku Dayak dalam sebuah perang fisik serta terjadinya “Peristiwa Ambon” yang melibatkan Kelompok Islam dengan Kelompok NonIslam merupakan bukti mengendornya semangat bhineka tunggal ika dalam kehidupan sehari-hari, dan tentu saja dalam praktek ber-bangsa dan bernegara. Meskipun kedua peristiwa tersebut terjadinya sudah beberapa tahun silam akan tetapi bekas fisik dan bekas psikologisnya masih sangat dirasakan sampai sekarang. Sebuah teori menyatakan untuk dapat menghilangkan bekas tersebut paling tidak diperlukan satu generasi.

Pada sisi yang lain terjadinya peristiwa pembakaran tempat ibadah dan penyerangan secara fisik antarkelompok agama di berbagai tempat beberapa waktu yang lalu, terlepas dari kelompok mana yang benar, merupakan cerminan mengendornya semangat kebhinekaan kita semua. Pada masa mendatang terjadinya peristiwa seperti ini haruslah dicegah. Semangat bhineka tunggal ika justru harus terus dikobarkan dan diimplementasikan secara konsisten di dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam praktek berbangsa dan bernegara.

Kita semua harus ingat bahwa semangat bhineka tunggal ika justru menjadi sebuah pondasi bagi bangsa bukan saja untuk memproklamasikan kemerdekaan akan tetapi lebih daripada itu untuk berbuat atau berkegiatan; artinya kegiatan apa pun yang dijalankan oleh bangsa ini harus dijiwai oleh semangat bhineka tunggal ika. Semangat ini tidak akan mengendorkan persatuan akan tetapi justru akan memperkokoh persatuan bangsa ini.

C. Ketahanan Nasional
Ketahanan nasional adalah suatu kondisi dinamis suatu bangsa yang terdiri atas ketangguhan serta keuletan dan kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala macam dan bentuk ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan baik yang datang dari dalam maupun luar, secara langsung maupun yang tak langsung yang mengancam dan membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan dalam mewujudkan tujuan perjuangan nasional.

Dari waktu ke waktu ketahanan nasional menghadapi tantangan dan hambatan baik yang berasal dari dalam (internal) maupun yang berasal dari luar (eksternal). Terdapatnya pemberontakan di dalam negeri, pendirian negara dalam negara, dan perseteruan antaretnis merupakan contoh konkret adanya tantangan dan hambatan dari dalam. Terjadinya penjajahan bangsa lain, infiltrasi budaya manca, dan provokasi negatif bangsa lain merupakan contoh konkret terjadinya tantangan dan hambatan dari luar.

Secara empiris kemajemukan budaya tidak menimbulkan tantangan dan hambatan ketahanan nasional suatu bangsa akan tetapi kalau dikemas secara bagus justru menjadi perekat untuk memperkuat ketahanan nasional itu sendiri. Dalam hal ini bangsa Indonesia boleh belajar dari bangsa lain yang telah teruji. Kita tidak perlu malu belajar dari bangsa lain yang lebih berhasil mengimplementasikan kemajemukan budaya dalam kehidupan sehari-hari serta dalam berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini kita bisa belajar dari Singapura yang selama ini mampu mengemas kemajemukan untuk memperkuat ketahanan nasional.

Singapura adalah negara berpenduduk sekitar 3,5 juta jiwa, setara dengan jumlah penduduk DIY. Di negara ini terdapat tiga etnis besar, yaitu Tionghoa (77%), Melayu (14%), India (7,6%), dan etnis lainnya khususnya dari Eropa (1,4%). Hampir separo atau tepatnya 42% penduduk Singapura merupakan orang asing yang bekerja di Negeri Singa tersebut. Bahasa resmi Singapura adalah Inggris, Melayu, Mandarin dan Tamil, di luar itu ada Bahasa Singlish yang dipakai untuk berkomunikasi sehari-hari. Agama di Singapura adalah Budha (42,5%), Islam (14,9%), Kristen (14,6%), Taoisme (8,5%), Hindu (4%), dll. Sekitar 15% penduduk Singapura tidak beragama.

Singapura adalah negara dengan masyarakat majemuk sebagaimana dengan masyarakat Indonesia. Meskipun aneka perbedaan terjadi pada masyarakat Singapura akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari mereka hidup rukun, saling toleran, dan saling membantu.

Ilustrasi riilnya dalam setiap perkantoran pemerintah hampir selalu melibatkan karyawan dari berbagai etnis tersebut. Di Singapore General Hospital (negeri) dan Mount Elizabeth Hospital (swasta) para dokter, perawat, petugas administratif dan karyawan lainnya melibatkan berbagai etnis yang dapat bekerja secara rukun dan professional.

Indonesia adalah negara yang secara resmi menjadikan Bhineka Tunggal Ika sebagai motto atau semboyannya, bahkan secara eksplisit telah ditulis dalam Garuda Pancasila sebagai lambang negara. Dengan demikian semangat bhineka tunggal ika hendaknya dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari untuk memperkuat ketahanan nasional.

D. Peranan Umum Pendidikan
Secara umum pendidikan dapat berperan sebagai metoda dan media untuk meningkatkan kualitas manusia baik dari sisi intelektualitas, fisikalitas maupun personalitasnya agar dapat bersanding dan bersaing dengan manusia lainnya. Dalam konteks bangsa, peranan umum pendidikan adalah meningkatkan mutu bangsa agar dapat duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa yang lain dalam konsep ketahanan nasional.

Salah satu referensi dalam menentukan kualitas yang telah menjadi kesepakatan masyarakat dunia adalah Human Development Index (HDI). Dalam kualitas manusia dalam satuan bangsa pada indeks ini terkandung unsur-unsur pendidikan, ekonomi, kesehatan dan kependudukan. Artinya bangsa yang HDI-nya tinggi memiliki tingkat pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan kependudukan yang tinggi; dan sebaliknya bangsa yang HDI-nya rendah berarti memiliki tingkat pendidikan, ekonomi, kesehatan dan kependudukan yang rendah.

Dari laporan UNDP di dalam “Human Development Report 2003” (2003) ternyata Indonesia hanya berhasil menempati peringkat 112 dari 174 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, Filipina dan Australia, ternyata peringkat Indonesia berada dibawahnya. Hal itu berarti bahwa secara umum kualitas bangsa Indonesia berada dibawah Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, Filipina dan Australia. Hal itu berarti bahwa tingkat pendidikan, ekonomi, kesehatan dan kependudukan bangsa Indonesia berada di bawah bangsa Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, Filipina, dan Australia.

Dalam laporan UNDP pada tahun-tahun berikutnya, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, dst, tidak ditemukan perubahan positif yang signifikan bagi masyarakat Indonesia. Kualitas manusia Indonesia terus saja berada di bawah negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan sebagainya.

Dalam era yang serba materialistik seperti sekarang daya kompetisi ekonomi suatu bangsa juga dapat diacu untuk menentukan seberapa besar kualitas manusia suatu bangsa. Implikasinya negara yang daya kompetisi ekonominya tinggi mengindikasi kualitas manusia yang tinggi; begitu pula hal yang sebaliknya.

Kalau kita simak laporan World Economic Forum (WEF), suatu badan internasional yang berbasis di Geneva, dalam berbagai dokumennya, senantiasa menempatkan posisi Indonesia lebih rendah kalau dibandingkan Singapura, Malaysia, dsb. Itu berarti daya saing ekonomi kita pun tidaklah sekuat Singapura dan Malaysia. Apalagi kalau dibandingkan dengan Jepang dan Korea, kita semakin jauh dibawahnya.

Di dalam skala mikro kualitas manusia Indonesia dapat dicermati dari kegagalan delegasi Indonesia pada forum International Mathematic Olympiad (IMO) yang diselenggarakan secara kontinu di setiap tahunnya; demikian juga dengan hasil persaingan siswa Indonesia dalam forum The Third International Mathematic and Science Study (TIMSS) yang tidak pernah memuaskan. Delegasi Indonesia dalam forum IMO dan palajar Indonesia dalam forum TIMSS senantiasa berada pada kelompok menengah ke bawah dan jarang berada pada kelompok atas.

Ramon Mohandas dalam laporan penelitiannya dengan titel “Report on The Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) : Indonesian Student Achievement in Mathematics and Science Compared to Other Countries” (2000) pernah menuliskan buruknya prestasi matematika dan sains siswa Indonesia di dalam forum dunia tersebut. Di bidang Matematika, siswa Indonesia hanya berhasil menempati peringkat 39 dari 42 negara partisipan; sedangkan untuk bidang sains, siswa Indonesia hanya berhasil menempati peringkat 40 dari 42 negara partisipan. Baik di bidang Matematika maupun sains ternyata prestasi siswa Indonesia berada di bawah siswa Singapura, Jepang, Republik Korea, dan sebagainya. Dalam hal kemampuan membaca pun sama saja; beberapa penelitian menunjukkan hal yang sama, beberapa penelitian menunjukkan hal yang sama, kemampuan anak-anak Indonesia di bawah anak-anak bangsa sekitar.

Dari sisi fisikalitas ternyata bangsa Indonesia juga tidak berhasil unjuk prestasi di forum internasional, bahkan di forum regional sekali pun. Di dalam forum Sea Games misalnya, kontingen Indonesia hampir selalu gagal menunjukkan prestasi terbaiknya.

Kalau dari sisi intelektualitas dan fisikalitas Indonesia belum berhasil unjuk prestasi di forum internasional, ternyata dari sisi personalitas begitu juga halnya. Sampai kini sangat jarang ditemukan referensi yang sanggup menunjukkan indikator personalitas seperti keramahan, kesopan-santunan, kerelawanan, berperilaku-baikan, kedisiplinan, dsb, bagi bangsa Indonesia lebih baik dari bangsa lain. Munculnya banyak kekerasan yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini seperti terorisme, pengeboman, dsb, justru memperburuk citra masyarakat Indonesia di mata dunia.

Kita pantas bersedih akan hilangnya “trade mark” bangsa Indonesia yang dahulu dikenal ramah, santun dan tenggang rasa. Sekarang ini bahkan banyak cibiran yang menyatakan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang korup dan penyebar teror. Keadaan ini harus kita perbaiki sekarang juga. Keadaan ini berpotensi “mendegrasi” jati diri bangsa yang ujung-ujungnya mampu memperlemah ketahanan nasional.

E. Peranan Khusus Pendidikan
Di dalam konteks memperkuat ketahanan nasional pada masyarakat majemuk, di samping berperan meningkatkan mutu bangsa agar dapat duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa yang lainnya, pendidikan juga berperan memberikan perekat antara perbedaan-perbedaan di antara komunitas kultural atau kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda agar supaya lebih meningkat komitmennya dalam berbangsa dan bernegara.

Jenis perekat yang dipakai ialah pembangunan karakter dan semangat kebangsaan atau nation and character building (NCB). Di sini karakter kebangsaan merupakan pengembangan jati diri bangsa Indonesia yang (pernah) dikenal sebagai bangsa yang ramah, santun dan tenggang rasa itu. Sedangkan semangkat kebangsaan adalah keinginan yang sangat mendasar dari setiap komponen masyarakat untuk berbangsa. Karakter dan semangat kebangsaan seperti itu akan berkembang baik secara natural maupun kultural menuju tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa itu sendiri. Di dalam konteks NCB, bangsa itu adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan.

Dalam konteks NCB, setiap komponen bangsa memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Etnis Melayu memiliki kedudukan yang sama dengan etnis Cina dan etnis lainnya; suku Aceh memiliki hak yang sama dengan suku Sunda dan lainnya; demikian pula pemeluk agama Islam mempunyai kewajiban yang sama dengan pemeluk agama Katolik dan agama-agama yang lain dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Khusus dalam hal nation building, nampaknya hal ini perlu dibenahi kembali dalam tata kehidupan bangsa Indonesia. Anak-anak remaja dan pemuda sekarang banyak yang asing dengan sejarah nasional; begitu pula dengan siswa SD, SLTP, SMA dan SMK, bahkan juga mahasiswa di perguruan tinggi. Padahal sejarah nasional itu sarat dengan muatan kebangsaan, baik nilai maupun pesan untuk senantiasa disiplin dalam berbangsa. Itulah sebabnya semangat kebangsaan perlu dikembangkan secara terus menerus dari waktu ke waktu.

Bagaimana dengan character building? Rasanya tak banyak berbeda. Munculnya banyak kasus yang destruktif dalam konteks kebangsaan, misalnya terjadinya sentimen antaretnis, perselisihan antarsuku, sampai pada perang antar(pemeluk) agama, menunjukkan bahwa karakter kebangsaan Indonesia lemah saat ini. Karakter kebangsaan ini harus selalu dipupuk dan disirami terus supaya dapat tumbuh dengan baik.

Pengembangan karakter kebangsaan tersebut tidaklah sekedar untuk menjadikan anggota masyarakat majemuk Indonesia dapat berperilaku baik, santun, ramah, dsb; akan tetapi lebih daripada itu dapat memupuk jiwa untuk senantiasa berdisiplin dalam berbangsa.

Baik, santun, ramah, dsb, adalah nilai-nilai yang konstruktif dalam kehidupan akan tetapi belum begitu bermakna dalam konteks semangat kebangsaan. Jadi karakter yang dikembangkan tidaklah sekedar “character for the individual well being”, tetapi lebih daripada itu yang dikembangkan adalah “character for the national well being” yang diperlukan untuk mengembangkan semangat kebangsaan. Dari sisi moral, yang dikembangkan tidaklah sekedar individual morality akan tetapi sampai kepada social morality.

Orang Malaysia sangatlah berbangga memiliki Petronas Twin Tower salah satu menara tertinggi di dunia karean NCB-nya kuat. Demikian pula orang-orang Cina amat berbangga ketika Yao Ming salah satu “anak Cina” dapat masuk dalam pemain elit liga bola basket AS, NBA. Bangsa Hong Kong sangat bangga ketika salah satu bintang film warganya, Jackie Chan, masuk dalam jajaran artis elite Hollywood. Bangsa Indonesia pun merasa amat bangga ketika Liem Swie King yang beretnis Cina itu menjadi juara dunia bulu tangkis karena bangsa Indonesia (harusnya) merasa bahwa Liem Swie King dan anggota masyarakat Indonesia lainnya adalah sama-sama bagian dari bangsa Indonesia.

Dalam sejarahnya, NCB bangsa Indonesia memang mengalami pasang surut; pada suatu ketika pasang dan pada ketika yang lainnya menjadi surut. Ketika memulai mengelola negara Indonesia di tahun 1945 rasanya NCB bangsa Indonesia sedang pasang; dan ketika banyak terjadi konflik sosial antaretnis, antarsuku dan antar(pemeluk) agama menunjukkan bahwa NCB bangsa Indonesia sedang surut. Dalam keadaan seperti inilah peranan pendidikan sangat diperlukan adanya.

F. Kesimpulan
Realitas masyarakat majemuk Indonesia dikemas secara rapi untuk mempertahankan jatidiri sebagai bangsa yang ramah, santun dan bertenggang rasa untuk memperkuat ketahanan nasional. Selanjutnya pendidikan nasional dapat dikemas secara rapi untuk meningkatkan kualitas dan membangun karakter untuk memperkuat ketahanan nasional.

Prie, 13052011

Biodata Singkat
Nama: Ki Supriyoko

Tugas sehari-hari:
  1. Direktur pascasarjana Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yk
  2. Pembina Sekolah Unggulan Insan Cendekia Yogyakarta
  3. Pengasuh Pesantren Ar-Raudhah Yogyakarta
  4. Wakil Presiden Pan-Pacific Associaton of Private Education (PAPE) Bermarkas di Tokyo, Jepang
  5. Ketua RT Celeban Baru Yogyakarta sejak tahun 1981 (30 tahun)
Sumber:
Makalah disampaikan dalam Dialog Budaya Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan tema “Aneka Ragam Budaya Daerah Sebagai Modal Dasar Dalam Membangun Karakter Bangsa” yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta pada tanggal 18-19 Mei 2011

Suku Betawi


Suku Betawi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Betawi
Mohammad Husni ThamrinIsmail MarzukiDedy Mizwar
Benyamin SuebAlya RohaliFauzi Bowo
Mohammad Husni ThamrinIsmail MarzukiDedy Mizwar
Benyamin SuebAlya RohaliFauzi Bowo
Jumlah populasi
3 juta (sensus 2000)
Kawasan dengan populasi yang signifikan
Jakarta: 2.3 juta
Bahasa
BetawiIndonesia
Agama
Islam dan Kristen (minoritas)
Kelompok etnik terdekat
BantenJawaSundaMelayu
Suku Betawi adalah sebuah suku bangsa di Indonesia yang penduduknya umumnya bertempat tinggal di Jakarta.
Sejumlah pihak berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda,JawaArabBaliBugisMakassarAmbonMelayu dan Tionghoa.
Namun pihak lain berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa pada masa lalu ternyata tidak sepenuhnya benar karena eksistensi suku Betawi menurut sejarawan Sagiman MD telah ada serta mendiami Jakarta dan sekitarnya sejak zaman batu baru atau pada zaman Neoliticum, penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa sebagaimana orang Sunda, Jawa, dan Madura. [1] Pendapat Sagiman MD tersebut senada dengan Uka Tjandarasasmita yang mengeluarkan monografinya "Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977)" mengungkapkan bahwa Penduduk Asli Jakarta telah ada pada sekitar tahun 3500 - 3000 sebelum masehi.
Namun menurut sebagian Peneliti yang sepaham dengan Lance Castles yang pernah meneliti tentang Penduduk Jakarta dimana Jurnal Penelitiannya diterbitkan tahun 1967 oleh Cornell University dikatakan bahwa secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang SundaJawa,BaliBugisMakassarAmbon, dan Melayu serta suku-suku pendatang, seperti Arab,IndiaTionghoa, dan Eropa.
Pada penelitiannya Lance Castles menitik beratkan pada empat sketsa sejarah yaitu :
  1. Daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia.
  2. Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815.
  3. Catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893
  4. Sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.
Dimana semua sketsa sejarahanya dimulai pada tahun 1673 (Pada Akhir Abad ke 17), sketsa inilah yang oleh sebagian ahli lainnya dirasakan kurang lengkap untuk menjelaskan asal mula Suku Betawi dikarenakan dalam Babad Tanah Jawa yang ada pada abad ke 15 (tahun 1400-an Masehi) sudah ditemukan kata "Negeri Betawi" [2]

Daftar isi

  [sembunyikan

[sunting]Etimologi Betawi

Kata Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa Melayu Kreol yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Mengenai asal mula kata Betawi, menurut para ahli dan sejarahwan ada beberapa acuannya :
  • Pitawi (Bahasa Melayu Polynesia Purba) yang artinya larangan. Perkataan ini mengacu pada komplek bangunan yang dihormati di Batu Jaya. Sejarahwan Ridwan Saidi mengaitkan bahwa Kompleks Bangunan di Batu Jaya, Karawang merupakan sebuah Kota Suci yang tertutup, sementara Karawang, merupakan Kota yang terbuka.
  • Betawi (Bahasa Melayu Brunei) di mana kata "Betawi" digunakan untuk menyebut giwang. Nama ini mengacu pada ekskavasi di Babelan, Kabupaten Bekasi, yang banyak ditemukan giwang dari abad ke-11 M.
  • Flora guling Betawi (cassia glauca), famili papilionaceae yang merupakan jenis tanaman perdu yang kayunya bulat seperti guling dan mudah diraut serta kokoh. Dahulu kala jenis batang pohon Betawi banyak digunakan untuk pembuatan gagang senjata keris atau gagang pisau. Tanaman guling Betawi banyak tumbuh di Nusa Kelapa dan beberapa daerah di pulau Jawa dan Kalimantan. Sementara di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, guling Betawi disebut Kayu Bekawi. Ada perbedaan pengucapan kata "Betawi" dan "Bekawi" pada penggunaan kosakata "k" dan "t" antara Kapuas Hulu dan Betawi Melayu, dan ini biasa terjadi dalam bahasa Melayu, seperti kata tanya apakah atau apatah yang memiliki persamaan makna atau arti.
Kemungkinan nama Betawi yang berasal dari jenis tanaman pepohonan ada kemungkinan benar. Menurut Sejarahwan Ridwan Saidi Pasalnya, beberapa nama jenis flora selama ini memang digunakan pada pemberian nama tempat atau daerah yang ada di Jakarta, seperti Gambir, Krekot, Bintaro, Grogol dan banyak lagi. "Seperti Kecamatan Makasar, nama ini tak ada hubungannya dengan orang Makassar, melainkan diambil dari jenis rerumputan"[3]
Sehinga Kata "Betawi" bukanlah berasal dari kata "Batavia" (Nama lama KotaJakarta pada masa Hindia Belanda). Dikarenakan nama Batavia lebih merujuk kepada wilayah asal nenek moyang orang Belanda
“Batavia is the Latin name for the land of the Batavians during Roman times. This was roughly the area around the city of Nijmegen, Netherlands, within the Roman Empire. The remainder of this land is nowadays known as Betuwe. During the Renaissance, Dutch historians tried to promote these Batavians to the status of "forefathers" of the Dutch people. They started to call themselves Batavians, later resulting in the Batavian Republic, and took the name "Batavia" to their colonies such as the Dutch East Indies, where they renamed the city of Jayakarta to become Batavia from 1619 until about 1942, when its name was changed to Djakarta (this is the short for the former name Jayakarta, later respelt Jakarta; see: History of Jakarta). The name was also used in Suriname, where they founded Batavia, Suriname, and in the United States where they founded the city and the town of Batavia, New York. This name spread further west in the United States to such places as Batavia, Illinois, near Chicago, and Batavia, Ohio.”.
Batavia merupakan nama Latin untuk tanah Batavia pada zaman Romawi. Perkiraan kasarnya berada sekitar kota Nijmegen, Belanda, dalam Kekaisaran Romawi. Sisa lahan ini kini dikenal sebagai Betuwe. Selama Renaisans, sejarawan Belanda mencoba untuk mempromosikan Batavia menjadi sebuah status "nenek moyang" dari orang-orang Belanda. Kemudian mereka mulai menyebut diri Orang-orang atau penduduk Batavia, kemudian hal tersebut mengakibatkan munculnya Republik Batavia, dan mengambil nama "Batavia" untuk koloni mereka seperti Hindia Belanda, dimana mereka mengganti nama menjadi dari Kota Jayakarta menjadi Batavia dari 1619 sampai sekitar 1942, ketika namanya diubah menjadi Djakarta (ini adalah kependekan dari nama mantan Jayakarta, kemudian dirubah kembali ejaannya menjadi Jakarta). Nama itu (Batavia) juga digunakan di Suriname, di mana mereka mendirikan Batavia, Suriname, dan di Amerika Serikat di mana mereka mendirikan kota dan kota Batavia, New York. Nama ini menyebar lebih jauh ke barat di Amerika Serikat untuk tempat-tempat seperti Batavia, Illinois, dekat Chicago, dan Batavia, Ohio.
Kemudian penggunaan kata Betawi sebagai sebuah suku yang pada masa hindia belanda, diawali dengan pendirian sebuah organisasi yang bernama Perkoempoelan Kaoem Betawi yang lahir pada tahun 1923.[5]

[sunting]Sejarah

Berikut merupakan pemaparan para ahli tentang sejarah betawi.

[sunting]Periode Sebelum Masehi

Sejarah Betawi diawali pada masa zaman batu yang menurut Sejarawan Sagiman MD sudah ada sejak zaman neolitikum. Sementara Yahya Andi Saputra (Alumni Fakultas Sejarah UI), berpendapat bahwa penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa. Menurutnya, dahulu kala penduduk di Nusa Jawa merupakan satu kesatuan budaya. Bahasa, kesenian, dan adat kepercayaan mereka sama. Dia menyebutkan berbagai sebab yang kemudian menjadikan mereka sebagai suku bangsa sendiri-sendiri.
  • Pertama, munculnya kerajaan-kerajaan di zaman sejarah.
  • Kedua, kedatangan penduduk dari luar Nusa Jawa.
  • Terakhir, perkembangan kemajuan ekonomi daerah masing-masing.
Penduduk asli Betawi berbahasa Kawi (Jawa kuno). Di antara penduduk juga mengenal huruf hanakacara (abjad bahasa Jawa dan Sunda). Jadi, penduduk asli Betawi telah berdiam di Jakarta dan sekitarnya sejak zaman dahulu. [6]

[sunting]Periode Setelah Masehi

[sunting]Periode Awal

[sunting]Abad ke-2
Pada abad ke-2, Menurtut Yahya Andi Saputra Jakarta dan sekitarnya termasuk wilayah kekuasaan Salakanagara atau Holoan yang terletak di kaki Gunung Salak, Bogor. Penduduk asli Betawi adalah rakyat kerajaan Salakanagara. Pada zaman itu perda gangan dengan Cina telah maju. Bahkan, pada tahun 432 Salakanagara telah mengirim utusan dagang ke Cina.
[sunting]Abad ke-5
Pada akhir abad ke-5 berdiri kerajaan Hindu Tarumanagara di tepi kali Citarum. Menurut Yahya, ada yang menganggap Tarumanagara merupakan kelanjutan kerajaan Salakanagara. Hanya saja ibukota kerajaan dipindahkan dari kaki gunung Salak ke tepi kali Citarum. Penduduk asli Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara. Tepatnya letak ibukota kerajaan di tepi sungai Candrabagha, yang oleh Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai Bekasi. Candra berarti bulan atau sasi, jadi ucapan lengkapnya Bhagasasi atau Bekasi, yang terletak di sebelah timur pinggiran Jakarta. Di sinilah, menurut perkiraan Poerbatjaraka, letak istana kerajaan Tarumanengara yang termashur itu. Raja Hindu ini ternyata seorang ahli pengairan. Raja mendirikan bendungan di tepi kali Bekasi dan Kalimati. Maka sejak saat itu rakyat Tarumanagara mengenal persawahan menetap. Pada zaman Tarumagara kesenian mulai berkembang. Petani Betawi membuat orang -orangan sawah untuk mengusir burung. Orang-orangan ini diberi baju dan bertopi, yang hingga kini ma sih dapat kita saksikan di sawah-sawah menjelang panen. Petani Betawi menyanyikan lagu sambil mengge rak-gerakkan tangan orang-orangan sawah itu. Jika panen tiba petani bergembira. Sawah subur, karena diyakini Dewi Sri menyayangi mereka. Dewi Sri, menurut mitologi Hindu, adalah dewi kemakmuran. Pendu duk mengarak barongan yang dinamakan ondel-ondel untuk menyatakan merdeka punya kagoembiraan. Ondel-ondel pun diarak dengan membunyikan gamelan. Nelayan juga bergembira menyambut panen laut. Ikan segar merupakan rezeki yang mereka dapatkan dari laut. Karenanya mereka mengadakan upacara nyadran. Ratusan perahu nelayan melaut mengarak kepala kerbau yang dilarungkan ke laut.
[sunting]Abad ke-7
Pada abad ke-7 Kerajaan Tarumanagara ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya yang beragama Budha. Di zaman kekuasaan Sriwijaya berdatangan penduduk Melayu dari Sumatera. Mereka mendirikan pemukiman di pesi sir Jakarta. Kemudian bahasa Melayu menggantikan kedudukan bahasa Kawi sebagai bahasa pergaulan. Ini disebabkan terjadinya perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang Melayu. Bahasa Melayu mula-mula hanya dipakai di daerah pesisir saja. Kemudian meluas sehingga ke daerah kaki Gunung Salak dan Gu nung Gede. Bagi masyarakat Betawi keluarga punya arti penting. Kehidupan berkeluarga dipandang suci. Anggota keluarga wajib menjunjung tinggi martabat keluarga. Dalam keluarga Betawi ayah disebut babe. Tetapi ada juga yang menyebutnya baba, mba, abi atau abah — pengaruh para pendatang dari Hadra maut. Ibu disebut mak. Tetapi tidak kurang banyaknya yang menyebut nyak atau umih. Anak pertama dinamakan anak bongsor dan anak bungsu dinamakan anak bontot.
[sunting]Abad ke-10
Pada sekitar abad ke-10. Saat terjadi persaingan antara wong Melayu yaitu Kerajaan Sriwijaya dengan wong Jawa yang tak lain adalah Kerajaan Kediri. Persaingan ini kemudian menjadi perang dan membawa Cina ikut campur sebagai penengah karena perniagaan mereka terganggu. Perdamaian tercapai, kendali lautan dibagi dua, sebelah Barat mulai dari Cimanuk dikendalikan Sriwijaya, sebelah timur mulai dari Kediri dikendalikan Kediri. Artinya pelabuhan Kalapa termasuk kendali Sriwijaya.
Sriwijaya kemudian meminta mitranya yaitu Syailendra di Jawa Tengah untuk membantu mengawasi perairan teritorial Sriwijaya di Jawa bagian barat. Tetapi ternyata Syailendara abai maka Sriwijaya mendatangkan migran suku Melayu Kalimantan bagian barat ke Kalapa. Pada periode itulah terjadi persebaran bahasa Melayu di Kerajaan Kalapa yang pada gilirannya – karena gelombang imigrasi itu lebih besar ketimbang pemukin awal – bahasa Melayu yang mereka bawa mengalahkan bahasa Sunda Kawi sebagai lingua franca di Kerajaan Kalapa. Sejarahwan Ridwan Saidi mencontohkan, orang “pulo”, yaitu orang yang berdiam di Kepulauan Seribu, menyebut musim di mana angin bertiup sangat kencang dan membahayakan nelayan dengan “musim barat” (bahasa Melayu), bukan “musim kulon” (bahasa Sunda), orang-orang di desa pinggiran Jakarta mengatakan “milir”, “ke hilir” dan “orang hilir” (bahasa Melayu Kalimantan bagian barat) untuk mengatakan “ke kota” dan “orang kota”.

[sunting]Periode Kolonialisasi Eropa

[sunting]Abad ke-16
Perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Pajajaran) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik Keroncong atau dikenal sebagai Keroncong Tugu.
Setelah VOC menjadikan Batavia sebagai pusat kegiatan niaganya, Belanda memerlukan banyak tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian dan membangun roda perekonomian kota ini. Ketika itu VOC banyak membeli budak dari penguasa Bali, karena saat itu di Bali masih berlangsung praktik perbudakan.[7] Itulah penyebab masih tersisanya kosa kata dan tata bahasa Bali dalam bahasa Betawi kini. Kemajuan perdagangan Batavia menarik berbagai suku bangsa dari penjuru Nusantara hingga Tiongkok, Arab dan India untuk bekerja di kota ini. Pengaruh suku bangsa pendatang asing tampak jelas dalam busana pengantin Betawi yang banyak dipengaruhi unsur Arab dan Tiongkok. Berbagai nama tempat di Jakarta juga menyisakan petunjuk sejarah mengenai datangnya berbagai suku bangsa ke Batavia, Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa, Kampung Makassar dan Kampung Bugis. Rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota.
[sunting]Abad ke-20
Pada April 1967 di majalah Indonesia terbitan Cornell University, Amerika, Lance Castles mengumumkan penelitiannya menyangkut asal-usul orang Betawi. Hasil penelitian yang berjudul “The Ethnic Profile of Jakarta” menyebutkan bahwa orang Betawi terbentuk pada sekitar pertengahan abad 19 sebagai hasil proses peleburan dari berbagai kelompok etnis yang menjadi budak di Batavia.
Secara singkat sketsa sejarah terjadinya orang Betawi menurut Castles dapat ditelusuri dari :
  1. Daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia.
  2. Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815.
  3. Catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893
  4. Sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.
Oleh karena klasifikasi penduduk dalam keempat catatan itu relatif sama, maka ketiganya dapat diperbandingkan, untuk memberikan gambaran perubahan komposisi etnis di Jakarta sejak awal abad 19 hingga awal abad 20. Sebagai hasil rekonstruksi, angka-angka tersebut mungkin tidak mencerminkan situasi yang sebenarnya, namun menurut Castles hanya itulah data sejarah yang tersedia yang relatif meyakinkan walaupun hasil kajian yang dilakukan Lance Castles mendapatkan banyak kritikan karena hanya menitikberatkan kepada skesta sejarah yang baru ditulis tahun 1673.
Mengikuti kajian Lance Castles antropolog Universitas IndonesiaDr. Yasmine Zaki Shahab, MA memperkirakan, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Bali, Jawa, Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu. Kemungkinan kesemua suku bangsa Nusantara dan Arab Moor ini dikategorikan ke dalam kesatuan penduduk pribumi (Belanda:inlander) di Batavia yang kemudian terserap ke dalam kelompok etnis Betawi.
Sepuluh tahun setelah pengumuman hasil penelitian Lance Castles yakni pada tahun 1977 arkeolog Uka Tjandarasasmita mengemukakan monografinya "Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977)". Uka memang tidak menyebut monografinya untuk menangkis tesis Castles, tetapi secara arkeologis telah memberikan bukti-bukti yang kuat dan ilmiah tentang sejarah penghuni Jakarta dan sekitarnya dari masa sebelum Tarumanagara di abad 5.
Dikemukakan bahwa paling tidak sejak zaman neolitikhum atau batu baru (3500 – 3000 tahun yang lalu) daerah Jakarta dan sekitarnya dimana terdapat aliran-aliran sungai besar seperti Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi, Citarum pada tempat-tempat tertentu sudah didiami oleh masyarakat manusia. Beberapa tempat yang diyakini itu berpenghuni manusia itu antara lain Cengkareng, Sunter, Cilincing, Kebon Sirih, Tanah Abang, Rawa Belong, Sukabumi, Kebon Nanas, Jatinegara, Cawang, Cililitan, Kramat Jati, Condet, Pasar Minggu, Pondok Gede, Tanjung Barat, Lenteng Agung, Kelapa Dua, Cipete, Pasar Jumat, Karang Tengah, Ciputat, Pondok Cabe, Cipayung, dan Serpong. Jadi menyebar hampir di seluruh wilayah Jakarta.
Dari alat-alat yang ditemukan di situs-situs itu, seperti kapak, beliung, pahat, pacul yang sudah diumpam halus dan memakai gagang dari kayu, disimpulkan bahwa masyarakat manusia itu sudah mengenal pertanian (mungkin semacam perladangan) dan peternakan. Bahkan juga mungkin telah mengenal struktur organisasi kemasyarakatan yang teratur. [8]

[sunting]Suku Betawi

Pada zaman kolonial Belanda tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Namun menurut Uka Tjandarasasmita penduduk asli Jakarta telah ada sejak 3500-3000 tahun sebelum masehi.
Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.

[sunting]Setelah kemerdekaan

Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah salah satu caranya ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.

[sunting]Seni dan kebudayaan

Seni dan Budaya asli Penduduk Jakarta atau Betawi dapat dilihat dari temuan arkeologis, semisal giwang-giwang yang ditemukan dalam penggalian di Babelan, Kabupaten Bekasi yang berasal dari abad ke 11 masehi. Selain itu budaya Betawi juga terjadi dari proses campuran budaya antara suku asli dengan dari beragam etnis pendatang atau yang biasa dikenal dengan istilah Mestizo . Sejak zaman dahulu, wilayah bekas kerajaan Salakanagara atau kemudian dikenal dengan "Kalapa" (Sekarang Jakarta) merupakan wilayah yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara, Percampuran budaya juga datang pada masa Kepemimpinan Raja Pajajaran, Prabu Surawisesa dimana Prabu Surawisesa mengadakan perjanjian dengan Portugal dan dari hasil percampuran budaya antara Penduduk asli dan Portugal inilah lahir Keroncong Tugu.
Suku-suku yang mendiami Jakarta sekarang antara lain, JawaSundaMinangBatak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya ArabTiongkokIndia, dan Portugis.
Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.

[sunting]Bahasa

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.
Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar "Kalapa" (sekarang Jakarta) juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau penduduk asli Betawi yang pada awalnya berbahasa Kawi dan mendiami daerah sekitar pelabuhan Sunda Kalapa (jauh sebelum Sumpah Pemuda) sudah menggunakan bahasa Melayu, bahkan ada juga yang mengatakan suku lainnya semisal suku Sunda yang mendiami wilayah inipun juga ikut menggunakan Bahasa Melayu yang umum digunakan di Sumatera dan Kalimantan Barat, penggunaan bahasa ini dikarenakan semakin banyaknya pendatang dari wilayah Melayu lainnya semisal Kalimantan Barat dikarenakan dianggap abainya Syailendra ketika dimintai tolong oleh Sriwijaya untuk menjaga wilayah perairan laut sebelah barat Sungai Cimanuk sebagai hasil Perjanjian Damai Sriwijaya - Kediri yang dimediasi oleh China yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Karena perbedaan bahasa yang digunakan antara suku Betawi dengan suku Sunda diwilayah lainnya tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnisBetawi. Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[9] yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dialek Betawi sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah "a". Dialek Betawi pusat atau tengah seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan di Meester (Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke Selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan hingga Jawa Barat. Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin S., Ida Royani dan Aminah Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan Kramat Sentiong. Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh paling jelas adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi tengah jelas menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir bernada "a" keras mati seperti "ain" mati dalam cara baca mengaji Al Quran.

[sunting]Musik

Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga adaRebana yang berakar pada tradisi musik ArabKeroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni LenongGambang KromongRebana Tanjidor dan Keroncong. Betawi juga memiliki lagu tradisional seperti "Kicir-kicir".

[sunting]Tari

Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda, Cokek dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.

[sunting]Drama

Drama tradisional Betawi antara lain Lenong dan Tonil. Pementasan lakon tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi langsung dengan penonton.

[sunting]Cerita rakyat

Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau si jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial. cerita lainnya ialah Mirah dari MarundaMurtado Macan KemayoranJuragan Boing dan yang lainnya.

[sunting]Senjata tradisional

Senjata khas Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan terbuat dari kayu.

[sunting]Kepercayaan

Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama KristenProtestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung TuguJakarta Utara.

[sunting]Profesi

Di Jakarta, orang Betawi sekarang sebagai hasil asimilasi antar suku bangsa, sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.
Kampung yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.
Warga Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu program Ganefo yang dicetuskan oleh Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang ini. Karena salah satu asal-muasal berkembangnya suku Betawi adalah dari asimilasi (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.

[sunting]Perilaku dan sifat

Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo yang menjadi Gubernur Jakarta saat ini .
Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang beragama Islam), kepada anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat Betawi dan pendatang dari luar Jakarta.
Orang Betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri (baca : Jakarta). Namun tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi generasi mendatang yang justru akan menopang modernisasi tersebut.

[sunting]Tokoh Betawi

Benyamin Sueb, seniman Betawi legendaris.

[sunting]Catatan kaki

  1. ^ "Penduduk Asli Betawi": [1]
  2. ^ Dari Gagang Keris Menjadi Betawi : [2]
  3. ^ "Dari Gagang Keris Menjadi Betawi" : [3]
  4. ^ Batavia Region : [4]
  5. ^ Profil Kesenian Tanjidor di situs web LanggamBudaya.ui.ac.id.
  6. ^ "Penduduk Asli Betawi" : [5]
  7. ^ Ensiklopedi Jakarta: Cornelis Chastelein
  8. ^ "Siapa dan Darimanakah Orang Betawi" : [6]
  9. ^ Three Old Sundanese Poems. KITLV Press. 3 Januari 2007.

[sunting]Referensi

  1. Castles, Lance The Ethnic Profile of Jakarta, Indonesia vol.I, Ithaca: Cornell University April 1967
  2. Guinness, Patrick The attitudes and values of Betawi Fringe Dwellers in Djakarta, Berita Antropologi 8 (September), 1972, pp. 78–159
  3. Knoerr, Jacqueline Im Spannungsfeld von Traditionalität und Modernität: Die Orang Betawi und Betawi-ness in Jakarta, Zeitschrift für Ethnologie 128 (2), 2002, pp. 203–221
  4. Knoerr, Jacqueline Kreolität und postkoloniale Gesellschaft. Integration und Differenzierung in Jakarta, Frankfurt & New York: Campus Verlag, 2007
  5. Saidi, RidwanProfil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya
  6. Shahab, Yasmine (ed.), Betawi dalam Perspektif Kontemporer: Perkembangan, Potensi, dan Tantangannya, Jakarta: LKB, 1997
  7. Wijaya, Hussein (ed.), Seni Budaya Betawi. Pralokarya Penggalian Dan Pengem¬bangannya, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1976