Kamis, 03 Januari 2013

Keadilan Aceng Fikri, Siapa Peduli?


Bila ingin mengenal seseorang, bacalah tulisannya. Bila ingin membaca seseorang, kenalilah tulisannya. Bila ingin menulis seseorang, kenalilah bacaannya dan bacalah kenalannya. (http://nafaspembaharuan.blogspot.com/)

Keadilan Aceng Fikri, Siapa Peduli?

OPINI | 03 January 2013 | 11:54Dibaca: 497   Komentar: 10   Nihil

1357188775447380933
sumber image: www.nafaspembaharuan.blogspot.com

Keadilan bukanlah upaya balas dendam. Mungkin selama ini kita geram dengan pisau hukum yang hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Rakyat kecil selalu menjadi korban empuk atas nama penegakan hukum demi keadilan. Sementara penguasa beserta kroni-kroninya, pejabat, birokrat plus konglomerat melenggang sakenake udele dhewe memainkan pasal-pasal peraturan tanpa tersentuh hukum.
Maka ketika kasus nikah (kilat) siri menjerat Bupati Garut Aceng Fikri, DPRD kompak dengan rakyat untuk menempatkan Aceng Fikri sebagai satu-satunya public enemy. DPRD memakzulkan, rakyat demo dan menghujat untuk memundurkan. DPRD bersenjata pelanggaran Undang-undang, rakyat bersenjata pelanggaran etika kepemimpinan dan pelecehan kaum perempuan. Keduanya baik dan keduanya benar. Sebagai “musuh publik” terkini, Aceng Fikri memang layak untuk “dihancurkan.” Itulah keadilan.
Namun keadilan akan menjadi ketidakadilan manakala dalam kasus yang satu ini pisau hukum terjebak pada satu sasaran semata. Jika selama ini kita menuding tebang pilih, mungkin kali ini kita yang pilih-pilih menebang pelanggar hukum. Tak perlu munafik, masih banyak Aceng Fikri-Aceng Fikri lain yang terlibat kasus nikah siri. Mungkin bukan hanya di Garut, tapi Jawa Barat, bahkan Indonesia. Meminjam plesetan slogan Tempo doeloe, “enak dibaca dan perlu,” nikah siri bagi pejabat publik adalah tradisi unik dan komoditi “Tempe: Enak dibacem dan perlu.”
Bahkan, di kalangan eksekutif dan legislatif juga tak jarang, di daerah dan di pusat. Hanya saja mereka (para pelaku nikah siri) masih beruntung kasusnya tidak diekspos oleh wartawan ke media sehingga asyik-asyik saja menikmati “tempe bacem”nya tanpa gangguan demo, hujatan dan upaya pemakzulan. Wong namanya juga nikah siri, mekanisme kerjanya tentu tak beda jauh dengan korupsi dan kolusi. Layaknya siluman, bergerak di kala sepi, sembunyi-sembunyi, bila mulai terdeteksi, langsung cuci tangan dan lari. Bagaiamana ada saksi dan bukti? Blaiii
Bila kita mau sedikit proporsional dalam melihat kasus Aceng Fikri, sempatkanlah untuk memberi kesempatan sang bupati untuk membela diri. Wajar towong koruptor yang nyata-nyata telah divonis pengadilan merugikan miliaran hingga triliunan uang negara (baca: uang rakyat) saja masih diberi kesempatan membela diri.
Termasuk Aceng Fikri, tak lebih dari politisasi, pergeseran urusan privacy ke ranah hukum-politik karena kapasitasnya sebagai pejabat publik, belum sampai kepada pencurian, penggelapan atau penggarongan uang rakyat. Sekadar pertanyaan, manakah yang lebih tinggi daya rusaknya bagi kesejahteraan dan keadilan publik antara nikah siri dengan korupsi? (Aceng Fikri: Dilema Privacy dan Obsesi Pemimpin Suci)
Aceng Fikri sendiri sendiri lewat kuasa hukumnya Ujang Sujai menilai bahwa keputusan DPRD Garut memakzulkan Aceng cacat hukum. Alasannya, 35% dari 50 anggota Dewan melakukan nikah siri, bahkan ada di antaranya yang hingga kini telah memiliki anak namun tidak memiliki akta lahir. Karena itu pihaknya mengajukan gugatan ke PTUN Bandung. Di antara materinya, keputusan dewan tidak profesional karena sama melakukan nikah siri.. Yang memakzulkan dan yang dimakzulkan sama-sama melakukan nikah siri. Jeruk makan jeruk. Cicak makan cicak. Buaya makan buaya. Apa kata dunia?
Akhirnya, benar atau tidaknya fakta ini, lengser atau tidaknya sang bupati dari jabatannya, biarlah hukum yang bicara lewat keputusan MA. Meski pada praktiknya, penegakan hukum di negeri ini masih terlalu kental dengan bumbu politik sebagai “penyedap rasa.” Tapi siapa peduli? Termasuk keadilan bagi Aceng Fikri, siapa peduli? Kepedulian terpenting bagi kita, adalah nada hukum dan irama politik yang semestinya dimainkan dengan santun, elegan dan cantik. Hukum tak semestinya tebang pilih. Pejabat atau rakyat tak boleh berbeda. Konglomelarat atau engkongmelarat, bila melanggar hukum dan kode etik politik mesti dibabat.
Dan yang utama, salus populi suprema lex. Kemaslahatan publik adalah hukum tertinggi. Terakhir, tradisi nikah siri juga layak dikaji lagi keabsahannya di negeri ini, dengan mempertimbangkan manfaat-maslahat dan mudlorot-maksiatnya bagi tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dan bagi komunitas nikah siri, mungkin sudah waktunya tak hanya berlindung di balik tameng slogan “Tempe: Enak Dibacem dan Perlu.”
Salam…
El Jeffry
Sumber: www.tempo.co

Tidak ada komentar:

Posting Komentar