Kamis, 22 November 2012

Horeee … Aku Naik Kelas …


Tika-tiki Korupsi di Indonesia

Horeee … Aku Naik Kelas …

KAMIS, 22 NOVEMBER 2012 15:50 WIB
LENSAINDONESIA.COM: Naik kelas selalu disambut dengan gembira. Walau di rapor banyak angka merahnya, tetapi karena naik kelas ya tetap harus disambut dengan gembira. Kasus Hambalang juga naik kelas. Nilainya tetap banyak yang rendah – di bawah lima – sehingga banyaklah merahnya. Tetapi karena dinyatakan telah naik kelas … yah, si orang tua tetap menyambutnya dengan gembira. Harapannya? Segera naik ke kelas tiga, empat dan lima, dan seterusnya … dan seterusnya … juga nilainya lebih bagus lagi serta kalau bisa jangan ada nilai merahnya.
Pembangunan di bukit berhantu Hambalang sudah lama berhenti. Dananya tidak ada. Sudah dianggarkan mungkin tetapi karena banyak kasus, keran dana ditutup. Akibatnya proyek triliun yang sempat hirup pikuk pengerjaannya sekarang hanya dijaga sejumlah satpam saja. Benar-benar mencengangkan sekaligus menjengkelkan. Betapa mudahnya para pencoleng di negara ini memulai sesuatu dengan menghambur-hamburkan uang bukan miliknya – uang negara, uang rakyat namanya – lalu setelah ketahuan belangnya eh … cukup memalingkan muka dan sepertinya tidak ada dosa apa-apa. Persoalan selesai, walau apa yang telah dimulai sama sekali jauh dari tuntas.
Harapan bahwa suatu ketika nanti para perompak uang negara ini benar-benar harus berhadapan dengan hukum memang tetap ada. Dasarnya bukan dendam atau kebencian karena memang rakyat kecil tidak begitu akrab dengan para perompak ini. Dasarnya adalah kebenaran dan keadilan. Maaf mungkin telah diberikan sejak lama oleh orang-orang kecil, oleh rakyat jelata, tetapi kebenaran dan keadilan masih menatap tajam berlama-lama karena para perompak belum ada yang berani mengakui kesalahannya. Naga-naganya mereka memang lebih suka dipaksa daripada sukarela.
Masa depan dan cita-cita para perompak uang negara dalam kasus bukit berhantu Hambalang – khususnya dalam karier politik – tampaknya sudah sampai jalan buntu. Tidak ada lagi tangga, tidak ada lagi jalan raya. Memang belum terbukti bersalah secara legal, karena memang belum ada vonis hukum berkekuatan tetap. Bahkan penyidikan langsung yang menohok para petinggi dan sutradara korupsi mega ini sebenarnya juga belum ada, walau ‘kicauan banyak saksi’ yang katanya telah menjadi fakta hukum karena disampaikan di sidang pengadilan, banyaknya bukan main. Tetapi tetap saja karier politik mereka tampaknya sampai di sini saja.
Kasus memang telah naik kelas, seperti yang disampaikan berulang-ulang, tetapi baru kelas dua. Padahal untuk lulus pendidikan dasar harus sampai ke kelas enam. Untuk lulus pendidikan menengah harus sampai kelas sembilan. Untuk lulus pendidikan atas harus sampai kelas dua belas. Wow … ternyata kelas dua memang masih ada di dasar sana. Masih jauh jalan yang harus ditempuh. Itu pun dengan catatan bahwa sama sekali tidak ada jaminan kasus ini akan terus naik kelas. Bagaimana kalau suatu ketika nanti harus tinggal kelas berulang-ulang sebelum akhirnya terpaksa dikeluarkan?
Perkara korupsi itu – sama seperti perkara-perkara lainnya – sama sekali tidak mudah diselesaikan. Apalagi kalau koruptor atau perompaknya ada pada semua lini. Tidak ada bagian yang berkaitan dengan uang atau anggaran yang dapat memberi jaminan bahwa pada lini mereka sama sekali tidak ada korupsi. Jaminan yang bisa diberikan justru yang sebaliknya. Sialnya, inilah potret negara ini dewasa ini. tribudhis@yahoo.com – Surabaya, Indonesia
Horeee … Aku Naik Kelas …
Dengan wajah sumringah dan ceria sambil mengibar-ngibarkan rapornya
Si Hambalang berlari-lari kecil sambil tak henti-hentinya berkata gembira
Horeee … aku naik kelas … aku naik kelas … orang senyum karenanya.
Sang bapak tersenyum lebar sayup-sayup mendengar teriakan anaknya.
Akhirnya engkau naik kelas juga, bisiknya lirih, sambil tersenyum bahagia.
Coba kulihat rapormu, katanya tak sabar ketika senyum si Hambalang tiba.
Ini ayah, balas Hambalang dengan senyum tidak kalah lebarnya, riang ria.
Rapor berpindah tangan dan lho nilainya kok cuma begini doang, katanya.
Bagaimana ini Hambalang, nilaimu kok cuma segini doang, merah semua.
Memang masih merah ayah, Hambalang menjawab tenang, tetapi nyatanya
Kan Hambalang naik kelas juga, kata guru merah dan masih kecil nilainya,
Tetapi karena di kelas dua muridnya kurang jadi Hambalang naik kelas juga.
Sang ayah mengerutkan kening tetapi mata Hambalang yang berbinar ceria
Menyurutkan niat menghardik si anak yang menurutnya lamban tidak terkira.
He … he … he … Hambalang kemudian terkekeh gembira, naik kelas juga.
Aku sekarang duduk di kelas dua dan ini pertanda ada banyak pintu jendela
Serta juga anak tangga yang dapat dibuka dan ditapaki … ha … ha … ha …
Sementara itu di dunia yang lebih nyata KPK sampai juga pada simpulannya
Bahwa ada penyalahgunaan wewenang oleh para pejabat aparatur negara,
Di samping tentu saja ada banyak kerugian keuangan negara yang diderita
Serta yang paling menjengkelkan, rasanya suap-menyuap keras aromanya.
Dengan tiga asumsi dasar utama terpenuhi semua, maka jadi masuk logika
Jika kasus Hambalang naik ke kelas dua dan nama tersangka otomatis ada.
Memang seperti rapor Hambalang, angkanya masih kecil dan merah semua,
Begitu juga yang jadi tersangka, eselonnya masih rendahan, kroco isitilahnya,
Bahkan kalau di Bali sana, si DK ini jelas tidak lebih tinggi dari PNKB kelasnya.
Kalau orang Bali berkata, wah DK-nya hilang, artinya pelat nomer maksudnya.
Pelat nomer jelas penting, tetapi motor itu kan bukan pelat nomer saja isinya,
Ada roda, ada rangka, dan tentu ada mesin yang menjadi motor penggeraknya.
Nah, roda, rangka, dan terutama mesin motor penggerak yang belum apa-apa,
Orang-orangnya masih bisa bebas menebar senyum manis tanpa salah dosa
Ada yang sibuk keluyuran ke pasar-pasar, tebar uang dan juga tebar pesona,
Ada yang sibuk nampang di layar kaca, alasannya beragam dan ada-ada saja.
Pendek kata dari satu bangunan sepeda motor yang namanya roda, rangka
Serta mesin penggeraknya, belum tersentuh apa-apa kecuali pelat nomernya.
Sudah dilepas mur bautnya, dibawa ke bawah mikroskop dan amatan seksama
Mulai dilakukan KPK untuk memastikan cacat cela dan dosanya ada seberapa.
Ha … ha … ha … kasihan juga engkau DK karena tanda tanganmu ada di sana
Tetapi bukankah juga jelas bahwa tanda tanganmu ada karena ada mandatnya,
Sehingga rasanya memang mustahil sang pemberi mandat tidak tahu apa-apa.
Yah sekarang engkau masih duduk di kelas dua, pelajaran masih tak seberapa,
Kapan naik ke kelas tiga, empat dan kemudian lima, sehingga semua durjana,
Baik anggota dewan, ketua fraksi, ketua partai, atau menteri pejabat negara,
Semuanya segera bisa dipaksa mengenakan seragam baru para tahanan KPK
Rasanya harus ditunggu lama walau sabda istana negara mulai hilang gemanya.
Dr. Tri Budhi Sastrio – tribudhis@yahoo.com – Surabaya, Indonesia

 Editor: Catur Prasetya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar